Menghadapi penghujung dekade 1990-an, situasi dan kondisi militer di kawasan ASEAN terus berubah secara dinamis. Negara-negara anggota ASEAN secara perlahan sudah mampu meraup buah pertumbuhan ekonomi Asia yang pesat, dan ini berimbas pada peningkatan kemampuan militernya.
Untuk sektor angkatan udara, tetangga terdekat seperti Singapura sudah memesan 11 unit F-16C/D dari Amerika Serikat dalam program Peace Carvin II tahun 1993. Malaysia membeli 18 unit MiG-29N dari Rusia, dan Thailand bahkan memesan F-16 dalam jumlah lebih besar, 18 unit F-16A/B Block 15 OCU melalui program Peace Naresuan III. Dengan negara-negara paling besar dan berpengaruh ASEAN menumbuhkan kekuatan udaranya, praktis Indonesia tertinggal.
TNI AU saat itu sudah melakukan kontrak untuk 2 skadron Hawk 100 dan versi tempur ringannya, Hawk 200. Namun dibandingkan dengan pesawat tempur betulan yang dibeli oleh tiga negara sahabat, Hawk 200 tentu kalah kelas. Maka, TNI AU pun melakukan kajian, yang hasilnya adalah kebutuhan akan 60 unit pesawat tempur sekelas F-16.
Pada bulan Maret 1996, KSAU Marsekal Sutria Tubagus menandatangani pembelian F-16A Block 15. Kontrak ini adalah untuk 9 unit pesawat, yang stoknya siap. Awalnya, 9 F-16A ini adalah eks AU Pakistan yang membelinya dalam program Peace Gate III. Namun karena Pakistan diam-diam mengembangkan bom nuklir dan menolak ratifikasi perjanjian nuklir, AS pun marah dan menghukum Pakistan dengan embargo.
Sebagai akibatnya, 11 F-16A/B yang dipesan tahun 1988 pun langsung masuk ke Boneyard begitu keluar dari pabrik. Boneyard, atau nama resminya AMARC (Aircraft Maintenance and Regeneration Center) di Davis-Monthan AFB, Arizona, adalah tempat penyimpanan pesawat yang bisa dihidupkan kembali. F-16 pesanan Pakistan ini rutin dipanaskan dan dirawat supaya bisa diterbangkan, dengan harapan bisa segera diserahkan begitu ada pembeli.
Pangkal perkaranya, Pakistan sudah membayar penuh pesanan F-16nya. Kalau Pemerintah Amerika Serikat mengenakan embargo, Pakistan pun berhak minta kembali uang yang sudah mereka bayarkan senilai US$685 juta untuk 28 pesawat, karena ternyata dalam perjalanannya Pakistan ternyata juga sudah membayar untuk 17 F-16 tambahan dalam Peace Gate IV.
Amerika Serikat kemudian menjual pesawat tempur jadi itu ke negara sahabat, supaya uangnya datang cepat. TNI AU pun antusias untuk membeli 9 F-16A yang ditawarkan, karena pesawat tempurnya sendiri sudah siap, dan harganya yang hanya US$9 juta pun lebih murah dibandingkan dengan banderol pabrikan.
TNI AU sudah menyiapkan tail number TS-1613 sampai TS-1621 untuk 9 F-16 yang sudah dikontraknya tersebut. Pilot-pilot yang akan jadi penunggang jet baru tersebut pun sudah disiapkan. Namun malang tak dapat ditolak, situasi politik di penghujung 1996 yang makin memanas, ditandai dengan peristiwa Kudatuli menyebabkan Pemerintah AS menjadi ragu akan kestabilan politik Indonesia.
Kongres AS pun mulai bersuara sumbang, dengan kritisi atas pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia semakin mengemuka. Presiden Soeharto pun meradang, karena tidak suka Indonesia disetir oleh isu-isu yang dihembuskan oleh pihak asing. Maka, Indonesia pun berkirim surat kepada Presiden Clinton yang baru terpilih untuk membatalkan pesanan F-16 tersebut.
Beserta pembatalan itu, Indonesia juga menghentikan seluruh kerjasama militer dengan Amerika Serikat yaitu E-IMET (Expanded International Military Education and Training). Bagi Indonesia, harga diri tak bisa dibeli. Pada akhirnya, sebagai gantinya Indonesia memesan 12 unit Su-30KI yang akhirnya juga batal karena digulung krisis moneter 1997. Malang tak dapat ditolak, AS juga ikut menghadiahi Indonesia dengan embargo sehingga armada F-16nya yang tinggal sedikit itu tidak bisa terbang karena kehabisan suku cadang.
TNI AU baru bisa memperoleh pesawat-pesawat F-16 impiannya melalui Peace Bima Sena II tahun 2011 yaitu 19 unit F-16C dan 5 unit F-16D Block 52ID yang dikirimkan secara bertahap mulai tahun 2014. Dengan total 34 F-16, walaupun sudah rusak empat unit karena kecelakaan, jumlah yang dimiliki tentu jauh dari angka ideal 60 unit yang pernah tercetus di tahun 1996.
Untuk elang penempur barunya ini, tail number dimulai dari TS-1620 sampai dengan TS-1643. Jika ada nomor yang seperti lompat dari generasi Peace Bima Sena I yaitu TS-1601 sampai TS-1612, ya itulah alokasi tail number untuk 9 F-16 TNI AU yang tak pernah terbeli.
Akan halnya dengan pesawat-pesawat Pakistan yang tak berhasil dicarikan pembelinya setelah ditawarkan ke sana-sini, F-16 tersebut akhirnya diberikan kepada AU dan AL AS untuk membentuk Skadron Agresor bagi sekolah penerbang kedua angkatan. AS pun menghapus embargo ketika mereka membutuhkan Pakistan sebagai pintu masuk ke Afghanistan dalam melancarkan operasi Enduring Freedom pasca kejadian 11 September 2001. (Aryo Nugroho)
Sumber : https://c.uctalks.ucweb.com/ personal/index/
Untuk sektor angkatan udara, tetangga terdekat seperti Singapura sudah memesan 11 unit F-16C/D dari Amerika Serikat dalam program Peace Carvin II tahun 1993. Malaysia membeli 18 unit MiG-29N dari Rusia, dan Thailand bahkan memesan F-16 dalam jumlah lebih besar, 18 unit F-16A/B Block 15 OCU melalui program Peace Naresuan III. Dengan negara-negara paling besar dan berpengaruh ASEAN menumbuhkan kekuatan udaranya, praktis Indonesia tertinggal.
TNI AU saat itu sudah melakukan kontrak untuk 2 skadron Hawk 100 dan versi tempur ringannya, Hawk 200. Namun dibandingkan dengan pesawat tempur betulan yang dibeli oleh tiga negara sahabat, Hawk 200 tentu kalah kelas. Maka, TNI AU pun melakukan kajian, yang hasilnya adalah kebutuhan akan 60 unit pesawat tempur sekelas F-16.
Pada bulan Maret 1996, KSAU Marsekal Sutria Tubagus menandatangani pembelian F-16A Block 15. Kontrak ini adalah untuk 9 unit pesawat, yang stoknya siap. Awalnya, 9 F-16A ini adalah eks AU Pakistan yang membelinya dalam program Peace Gate III. Namun karena Pakistan diam-diam mengembangkan bom nuklir dan menolak ratifikasi perjanjian nuklir, AS pun marah dan menghukum Pakistan dengan embargo.
Sebagai akibatnya, 11 F-16A/B yang dipesan tahun 1988 pun langsung masuk ke Boneyard begitu keluar dari pabrik. Boneyard, atau nama resminya AMARC (Aircraft Maintenance and Regeneration Center) di Davis-Monthan AFB, Arizona, adalah tempat penyimpanan pesawat yang bisa dihidupkan kembali. F-16 pesanan Pakistan ini rutin dipanaskan dan dirawat supaya bisa diterbangkan, dengan harapan bisa segera diserahkan begitu ada pembeli.
Pangkal perkaranya, Pakistan sudah membayar penuh pesanan F-16nya. Kalau Pemerintah Amerika Serikat mengenakan embargo, Pakistan pun berhak minta kembali uang yang sudah mereka bayarkan senilai US$685 juta untuk 28 pesawat, karena ternyata dalam perjalanannya Pakistan ternyata juga sudah membayar untuk 17 F-16 tambahan dalam Peace Gate IV.
Amerika Serikat kemudian menjual pesawat tempur jadi itu ke negara sahabat, supaya uangnya datang cepat. TNI AU pun antusias untuk membeli 9 F-16A yang ditawarkan, karena pesawat tempurnya sendiri sudah siap, dan harganya yang hanya US$9 juta pun lebih murah dibandingkan dengan banderol pabrikan.
TNI AU sudah menyiapkan tail number TS-1613 sampai TS-1621 untuk 9 F-16 yang sudah dikontraknya tersebut. Pilot-pilot yang akan jadi penunggang jet baru tersebut pun sudah disiapkan. Namun malang tak dapat ditolak, situasi politik di penghujung 1996 yang makin memanas, ditandai dengan peristiwa Kudatuli menyebabkan Pemerintah AS menjadi ragu akan kestabilan politik Indonesia.
Kongres AS pun mulai bersuara sumbang, dengan kritisi atas pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia semakin mengemuka. Presiden Soeharto pun meradang, karena tidak suka Indonesia disetir oleh isu-isu yang dihembuskan oleh pihak asing. Maka, Indonesia pun berkirim surat kepada Presiden Clinton yang baru terpilih untuk membatalkan pesanan F-16 tersebut.
Beserta pembatalan itu, Indonesia juga menghentikan seluruh kerjasama militer dengan Amerika Serikat yaitu E-IMET (Expanded International Military Education and Training). Bagi Indonesia, harga diri tak bisa dibeli. Pada akhirnya, sebagai gantinya Indonesia memesan 12 unit Su-30KI yang akhirnya juga batal karena digulung krisis moneter 1997. Malang tak dapat ditolak, AS juga ikut menghadiahi Indonesia dengan embargo sehingga armada F-16nya yang tinggal sedikit itu tidak bisa terbang karena kehabisan suku cadang.
TNI AU baru bisa memperoleh pesawat-pesawat F-16 impiannya melalui Peace Bima Sena II tahun 2011 yaitu 19 unit F-16C dan 5 unit F-16D Block 52ID yang dikirimkan secara bertahap mulai tahun 2014. Dengan total 34 F-16, walaupun sudah rusak empat unit karena kecelakaan, jumlah yang dimiliki tentu jauh dari angka ideal 60 unit yang pernah tercetus di tahun 1996.
Untuk elang penempur barunya ini, tail number dimulai dari TS-1620 sampai dengan TS-1643. Jika ada nomor yang seperti lompat dari generasi Peace Bima Sena I yaitu TS-1601 sampai TS-1612, ya itulah alokasi tail number untuk 9 F-16 TNI AU yang tak pernah terbeli.
Akan halnya dengan pesawat-pesawat Pakistan yang tak berhasil dicarikan pembelinya setelah ditawarkan ke sana-sini, F-16 tersebut akhirnya diberikan kepada AU dan AL AS untuk membentuk Skadron Agresor bagi sekolah penerbang kedua angkatan. AS pun menghapus embargo ketika mereka membutuhkan Pakistan sebagai pintu masuk ke Afghanistan dalam melancarkan operasi Enduring Freedom pasca kejadian 11 September 2001. (Aryo Nugroho)
Sumber : https://c.uctalks.ucweb.com/
No comments:
Post a Comment