Singapura menjamu Indonesia secara meriah di acara perjalanan 50 tahun hubungan diplomatik kedua negara. Presiden Jokowi dan rombongan besarnya berada di negeri pulau itu selama dua hari 6 - 7 September 2017 untuk merayakan ulang tahun persahabatan kedua negara yang memasuki usia setengah abad. Acara yang paling gagah adalah tampilnya 20 jet tempur F-16 kedua negara membentuk formasi angka limapuluh melintas Marina Bay disaksikan PM Lee Hsien Loong dan Presiden Jokowi.
RISING 50 tahun atau Republik Indonesia-Singapura 50 tahun adalah sebuah perjalanan dinamika bertetangga yang diisi dengan berbagai hal mulai dari kemarahan, keramahan, keangkuhan, keanggunan dan sebagainya mewarnai jalannya pertetanggaan itu. Bulan September 1967 secara resmi hubungan diplomatik Indonesia-Singapura dibuka dengan menempatkan masing-masing Duta Besar meski “cuaca batin” waktu itu masih penuh permusuhan sebagai dampak Dwikora.
Belum ada setahun hubungan itu memburuk dan nyaris menimbulkan pertempuran antara kedua negara. Marinir Indonesia siap menyerbu Singapura. Sebabnya adalah dieksekusinya dua marinir Indonesia Usman dan Harun tanggal 17 Oktober 1968. Usman Harun melakukan infiltrasi dan sabotase di Orchard Road tahun 1965 ketika konfrontasi Indonesia-Malaysia memuncak. Singapura bagian dari Federasi Tanah Melayu pada waktu itu.
Tensi kemarahan itu berakhir dengan kunjungan PM Lee Kwan Yew ke Jakarta tahun 1973 dan menaburkan bunga di makam Usman dan Harun di TMP Kalibata. Presiden Soeharto bersedia menjamu PM Lee dengan syarat dia harus datang ke makam Usman Harun. Ini kemenangan diplomatik Indonesia. Dengan semangat ASEAN kedua negara mampu membangun dan merawat persahabatan berbasis keramahan dan saling menyapa.
Dalam perjalanannya kemudian Singapura berhasil membangun pertumbuhan ekonominya menjadi sebuah negara maju dan sejahtera termasuk juga membangun kekuatan militernya menjadi kekuatan sarang lebah yang menyengat. Sementara Indonesia, sebuah negara kepulauan terbesar dengan sumber daya alam yang kaya raya dan sumber daya manusia yang besar “baru mau akan” menjadi negara maju sejahtera. Pembangunan kekuatan militer kita tersendat selama puluhan tahun.
Maka sikap angkuh pun ditunjukkan negeri mungil itu di berbagai hal. Ketika para koruptor negeri ini bersembunyi disana, tak ada keinginan untuk membantu memulangkan dengan alasan tidak ada perjanjian ekstradisi. Ketika mau dibuat perjanjian pinjam lahan untuk latihan militernya mereka tidak mau dikaitkan dengan perjanjian ekstradisi. Kadang-kadang deru jet tempur mereka yang sedang latihan di lahan sempit negaranya menyentuh teritori Batam. Yang lebih menyakitkan kapal selam mereka bebas berkeliaran di perairan kita.
Yang heboh tentu saja ketika kita hendak memberi nama sebuah kapal perang kita dengan nama KRI Usman - Harun bulan Februari 2014. Singapura mempertunjukkan diplomasi kekanak-kanakan dengan menyamai Usman dan Harun sebagai teroris. Mereka keberatan jika satu kapal perang dari tiga kapal perang yang dibeli Indonesia diberi nama kedua pahlawan nasional itu. Bahkan mereka membatalkan 100 undangan untuk Kemhan Indonesia yang akan menghadiri Singapore Airshow 2014. Juga mereka keberatan jika kapal perang itu singgah di Batam. Lucu ya.
Tapi kali ini kita bersikap tegas dan lantang. Petinggi militer dan diplomatik kita bersuara seragam. Tidak boleh ada intervensi soal nama itu karena itu hak Republik Indonesia. Singapura terdiam terpaku. Juga soal Tax Amnesty. Sementara kita jalan terus. Kekuatan ekonomi kita sudah menembus 15 besar dunia maka kita ikut group elite G20 dan nomor satu di ASEAN. Militer kita juga ternyata menduduki ranking 14 besar dunia, nomor satu di ASEAN. Pembangunan kekuatan militer kita berjalan terus dengan percaya diri.
Dalam strategi militer sekuat apapun militer Singapura tetap memiliki titik lemah fatal yaitu satu titik itu saja. Meski dia punya kekuatan udara yang luar biasa yang katanya bisa hancurkan Jakarta dalam hitungan jam tapi sesungguhnya kelemahannya ada di satu titik itu saja sementara kita terdiri dari ribuan titik yang menyebar luas. Coba kita letakkan MLRS Astross dan Howitzer Caesar Nexter di Batam, lalu bombardir Changi dan Paya Lebar. Meskipun jet tempurnya berhasil bom Jakarta tapi tentu mereka tak bisa pulang karena pangkalan militernya sudah hancur.
Kekuatan ekonomi dan kekuatan militer kita saat ini tentu menjadi perhitungan Singapura. Maka diplomasi RISING TREE yang dipertunjukkan kemarin merupakan sebuah upaya bermanis wajah untuk sahabatnya yang sedang menuju negara hebat. Indonesia sedang membangun infrastruktur ekonomi secara besar-besaran, juga penguatan militer yang luar biasa. Singapura jelas mengamati perubahan hebat tetangganya itu.
Maka pesannya adalah, bertetanggalah dengan semangat kesetaraan, berdiplomasilah dengan bahasa ramah bukan marah, bersikaplah anggun bukan angkuh karena Indonesia yang tak akan mampu ditandingi Singapura sepanjang sejarah adalah kekuatan nasionalisnya, kekuatan sumber daya alamnya dan kekuatan sumber daya manusianya. Takdir Singapura adalah bertetangga seumur hidup dengan Indonesia. Hubungan itu saling membutuhkan, jangan merasa Indonesia butuh Singapura tapi ke depan justru Singapura butuh Indonesia.
Raungan 20 jet tempur F-16 dengan membentuk formasi angka lima puluh kemarin begitu spektakuler maknanya. Angka lima diisi dengan 10 jet tempur Indonesia dan angka nol diisi dengan 10 jet tempur Singapura adalah gambaran kesetaraan itu. Hubungan militer yang setara, hubungan diplomatik yang setara, hubungan ekonomi yang saling menguntungkan adalah bingkai bertetangga yang indah antara Indonesia dan Singapura. Maka bertetanggalah dengan anggun dan ramah, kita akan membalasnya dengan sapa dan senyum, tak lupa sambil belanja terus di negeri tujuan wisata dan shopping center itu. Bisa aja.
Sumber : TSM - Jagarin Pane
No comments:
Post a Comment